Senin, 16 November 2009

Eyang Sinto Gendeng

“Astaga!” kejut Wiro dengan muka berubah. “Jadi itu rupanya kekuatan obat yang disuruhnya telan. Pantas burungku tidak bisa mengepakkan sayap...” Wiro garuk-garuk kepala. Anak Paman Murid Mbah Gendeng ini nyengir kuda.

“Nah ini! Lekas telan obat ini!” Sinto Gendeng serahkan obat hitam bulat itu pada Wiro.

Tanpa ragu sang murid segera menelannya. Lalu dia bertanya. “Nek, obat yang barusan aku telan ini untuk apa? Mau membuat burungku jadi lebih rapuh?”

Si nenek gelengkan kepala. “Obatku ini justru untuk menyembuhkan burungmu agar kau nanti bisa meyakinkan Dewi Ular bahwa kau benar-benar seorang lelaki jantan!”

“Jadi... jadi Eyang sengaja hendak menyuruhku tidur dengan perempuan itu lalu dia mencelekai diriku?”

“Kau mau tidur dengan dia sampai tujuh hari tujuh malam siapa mau yang melarang?! Tapi ingat, kau harus punya kemampuan untuk menahan diri. Bukan mempergunakan burungmu, tapi menusukkan paku emas itu ke pusar Dewi Ular...”

“Wah berat Nek! Kalau akau tak sanggup menahan diri bagaimana?” tanya Wiro.

“Kalau begitu lebih bagus kau bunuh diri saja sekarang-sekarang ini!” sahut Eyang Sinto Gendeng. Lalu tanpa banyak bicara lagi dia berkelebat pergi.

Begitu orang yang memekik menampakkan diri, Sandaka segera melompat ke hadapannya. Ternyata yang muncul adalah Dewi Ular. “Sandaka! Apa yang terjadi dengan dirimu! Celaka!” Dewi Ular berteriak keras dan tersurut beberapa langkah ketika melihat keadaan Sandaka yang ditancapi paku baja putih murni mulai dari kepala sampai ke kaki serta penuh gelimangan darah.

“Kekasihku...” ujar Dewi Ular seraya mendekati Sandaka sambil membuat gerakan hendak merangkul pemuda itu. “Kau dalam bahaya. Lekas ikuti aku. Tinggalkan tempat ini...”

“Sandaka!” Datuk Bululawang berteriak. “Lekas bunuh perempuan di hadapanmu! Jangan biarkan dia memelukmu!”

“Sandaka!” balas berteriak Dewi Ular. “Jangan dengarkan ucapannya! Kau adalah kekasihku! Kau harus tunduk dan patuh padaku! Ayo lekas pergi!”

Dewi Ular yang hendak memeluk si pemuda tertahan gerakannya ketika melihat bagaimana sepasang mata Sandaka memancarkan sinar hijau berkilat. Wajah dan tubuhnya yang berpaku-paku dan tertutup darah ikut memancarkan sinar kehijauan. Itulah hawa dan tanda pembunuhan!

“Celaka! Paku-paku keparat itu benar-benar telah melumpuhkan otaknya! Kini dia hanya mengikut pada perintah dajal bertangan buntung ini! Sebaiknya kuhabisi dulu tua bangka keparat ini!” Dewi Ular kebutkan lengan baju hijaunya. Dua gelombang angin sedahsyat topan prahara menderu ke arah Datuk Bululawang. Sang datuk cepat menyingkir. Namun lawan menyusul pukulan tangan kosong dengan satu hantaman jarak pendek. Baru saja dia mampu menghindar, tiba-tiba Dewi Ular sudah berada di sampingnya melancarkan jotosan ke pelipis kirinya.

Datuk Bululawang umbar tawa mengekeh . Berkelahi jarak dekat, justru ini maunya. Dia seperti membiarkan kepalanya dihantam pukulan lawan. Namun diam-diam tangan kanannya melesat ke perut Dewi Ular , siap menjebol dan membetot isi perut perempuan ini.

Dewi Ular yang sudah tahu keganasan ilmu Datuk Bululawang tidak berlaku ayal. Dia tekankan kedua tumitnya ke tanah. Sesaat kemudian tubuhnya melayang ke atas. Dari rongga bawah pakaian hijaunya melesat keluar dua ekor ular hijau. Dua binatang jejadian ini langsung melesat ke arah Datuk Bululawang.

“Desss! Prakkk!”

Kepala ular hijau sebelah kanan hancur dihantam tangan sakti Datuk Bululawang. Namun dia tidak mampu menghantam ular kedua ataupun menghindar. Binatang ini mematuk ke arah matanya. Sesaat lagi mata kiri orang tua bertubuh pendek dan berpunuk ini akan hancur menjadi satu lobang yang mengerikan, tiba-tiba dari samping ada dua larik sinar hijau menyambar. Ular hijau yang hendak mematuk mata sang datuk hancur berkeping-keping.

Dewi Ular terpekik dan cepat bertindak mundur. Dadanya mendenyut sekali. Dia memandang ke kiri di mana Sandaka tegak dengan pandangan mata angker. Dewi Ular tahu pemuda itulah yang barusan menyelamatkan Datuk Bululawang dengan semburan cahaya hijau sakti dari kedua matanya.

“Sialan! Aku tak mungkin bisa melawannya. Apalagi ada datuk keparat itu di sini. Hari ini aku terpaksa mengalah. AKu terpaksa menyingkir! Jahanam betul!”

“Sandaka! Lekas kau habisi perempuan itu!” teriak Datuk Bululawang ketika dilihatnya gelagat Dewi Ular hendak melarikan diri.

Manusia paku yang kini berada di bawah pengaruh dan kekuasaan Datuk Bululawang menggereng keras. Dengan satu kali lompatan saja dia sudah berada di hadapan Dewi Ular. Dia kedipkan kedua matanya. Dua larik sinar hijau menyambar. Dewi Ular melompat ke balik sebatang pohon seraya menghantam dengan tangan kanan.

1 komentar:

  1. sinto sinto gendeng
    wiro wiro sableng
    gurunya gendeng muridnya sableng
    wkwkwkwkwkwkwk.......

    BalasHapus